Senin, 14 Mei 2018

Gaji Ke Gaji - Part 1




pic source : singlemomsincome


Adakah diantara kita yang setiap bulannya (jika kita adalah orang dengan penghasilan/ gaji bulanan) begitu terima gaji, ya bertahan hidup dengan segitu adanya sampai nunggu gajian berikutnya. Sederhananya you get paid, dipakai semua (tanpa ada sisa), and wait until next pay check.

Kondisi seperti itu terasa berat ketika kita memiliki hutang atau justru memiliki tujuan keuangan tertentu. Sulit untuk membayar hutang atau sulit memenuhi target tujuan keuangan tertentu karena ya boro-boro mau bayar hutang, gaji aja udah megap-megap sekedar sampai ke gajian berikutnya.

Bosen dengan pola keuangan dan cara hidup begitu? *Errrr... sebaiknya bosen ya, supaya tertarik nerusin baca artikel ini :).

Maka yang bisa dilakukan untuk menghentikan living from pay check to pay check ini adalah :

1. Menyadari
Menyadari bahwa pola hidup saat ini, seperti ini, adalah kita yang menciptakan, kita yang memilih, dan kita siap untuk berubah!

Loh kok di awal sudah "menyalahkan diri sendiri?". Hei, ya iya lah. Perubahan dari hal buruk menuju kebaikan harus diawali dengan kesadaran. Kalau kita nggak sadar bahwa kita bermasalah, bahwa pola hidup dan keuangan kita bermasalah, ya kita nggak akan ada niatan untuk berubah. Nah, menyalahkan orang lain atas kondisi keuangan kita bukanlah opsi. Lah, uangnya uang kita, yang menentukan mau dipakai untuk apa aja juga kita, kenapa giliran bermasalah malah jadi menyalahkan orang lain?

Jadi, langkah pertama adalah sadari dulu bahwa iya kita bosen banget dengan pola hidup gajian ke gajian berikutnya, pengen berubah, pengen punya "uang lebih" untuk tujuan keuangan yang lainnya.

2. Membuat Budget
Oh, Dear membaca kata budget rasanya pengen garuk-garuk aspal ga sih? (eeehhhh...). Tapi nggak usah dibuat rumit. Coba duduk tenang, bila perlu (dan sebaiknya) dengan pasangan jika kita sudah menikah, kita catat (beneran catat ya, jangan hanya diingat-ingat) berapa penghasilan kita setiap bulan, dan kemana saja uang tersebut mengalir. Se-detail-detailnya! (tuh kan pakai tanda seru saking pentingnya). As detailed as possible. Even for example how much money do you usually spend for cups of coffee at your favorite cafes.
 
Pencatatan itu nggak usah dibuat ribet dengan berbagai kategori. Catat saja semua yang diingat, semaksimal mungkin.

Setelah itu mestinya kita jadi tercerahkan, sebenernya kemana aja sih uang kita itu setiap bulannya. Dan berdasarkan pengalaman saya dengan klien, di titik ini kita akan terbengong kaget pas melihat (beneran melihat, bukan hanya membayangkan) angka di atas kertas tentang berapa banyak uang yang kita habiskan untuk beli aneka lipstick dan pensil alis dan berapa banyak sebenernya kita habiskan di mal setiap weekend dengan anak-anak.

Serius, pas ketemu angkanya seringnya sih klien-klien saya kaget, nggak menyangka mereka sebenarnya selama ini seboros itu.

Nah, kalau sudah tahu dan sadar kemana saja sebenarnya uang kita mengalir barulah kita buat budget. Se-realistis mungkin.

Kelompok dalam budget itu bisa banyak variasinya, tergantung masing-masing kita sih. Tapi untuk panduan bisa dikelompokkan sebagai berikut :

A. Income :
Gaji.
Award (misal bonus, THR, dan sejenisnya).
Bunga Uang (misal bunga deposito yang tidak kita simpan, melainkan kita ambil).
Hadiah.
Penjualan (misal kita menjual barang dan mendapat keuntungan sebagai penghasilan).
Others (misal kita melakukan pekerjaan tambahan).

B. Expense :
Makanan
Transportasi
Tagihan rutin
Belanja
Relasi sosial
Travel
Kesehatan
Donasi/ Amal
Keluarga
Pendidikan

Itu dulu deh biar simple.

Nah setelah setiap poin itu diisi, kita jadi punya "pagar" sebenarnya pengeluaran kita untuk poin-poin tersebut berapa sih angka wajar dan cukup. Dalam arti cukup untuk keberlangsungan hidup kita, nggak berlebihan, nggak boros. Angka itu jadi batasan untuk pengeluaran kita.

3. Kebiasaan Baru
Punya kebiasaan gampang menghabiskan uang di online shop? Nongkrong di cafe setiap jam pulang kerja? Atau ke-gemes-an beli baju lucu buat anak kira-kira 10x dalam sebulan? Coba dibuat daftar dengan sejujurnya pada diri sendiri apa aja sih kebiasaan kita (utamanya yang impulsive) tentang pengeluaran. Pengeluaran tidak terencana yang sifatnya konsumtif.

Jika kita sudah menyadari, again, ini kan perihal apakah kita menyadari pilihan dan gaya hidup kita dalam hal pemakaian uang, maka kita latih diri untuk disiplin dan memiliki kontrol diri. Gimana caranya?

Sadar diri dan disiplin mengikuti budget yang sudah kita buat.

Sampai ada klien saya yang akhirnya -saking dia merasa dia susah menahan diri atas impulsive buying- setiap hari Minggu mengambil uang di atm untuk estimasi jumlah pengeluaran dalam satu minggu ke depan. Dia simpan di lemarinya dalam sistem amplop dan dia hanya membawa uang cash di dompetnya untuk hari itu saja. Setiap hari.

Ribet? Iya. Tapi dia sampai segitunya karena dia sadar asal ada uang di dompetnya dia nggak sadar tuh udah menghabiskan berapa untuk hari itu. Tetiba di pertengahan bulan uangnya sudah hampir habis dan menanti gajian berikutnya kok lama banget ya.

Ada banyak cara yang bisa diterapkan untuk membentuk kebiasaan baru.

Jika kita tipikal penggila online shop, unsubscribe lah dari mailing list brand-brand atau online shops yang biasa kita beli. Ada klien saya ya yang sampai menghapus nomor rekening online shop langganannya dari daftar transfer m-banking nya agar dia tidak mudah transfer hihihi.... jadi setiap mau transfer, mikir dulu, add lagi nggak ya nomor rekening ini? And somehow it works on her! Secara butuh effort lebih untuk transfer, pikirannya kemudian menjadi "ah, ribet deh mesti nambah daftar rekening lagi, apa iya saya butuh baju ini?".

Stalker setia akun sosmed seller-seller online? Unfollow juga gpp kok, Sis :D. Intip mereka jika keingetan aja, atau memang sedang mencari barang yang kita tahu dijual oleh MbakSis seller barang tersebut. Unfollow akun sosmed jualan membuat kita setidaknya tidak sering "terpapar" godaan barang-barang yang dijual online.

By the way, saat saya men-draft ide tulisan ini seingat saya akan jadi short article deh, ini kenapa jadi panjang ya? :D. Saya bagi jadi 2 bagian aja ya. Langkah-langkah selanjutnya ada di judul yang sama; part 2. Nanti Teman sekalian pusing baca artikel panjang lebar begini :D.






Jumat, 11 Mei 2018

Declutter Mainan Theo

Theo sekarang berumur 4,5 tahun. Seperti banyak anak lelaki seusianya, dia sukaaaaaaaaaaaaaaaaaa........ (tuh panjangnya, saking sukanya) banget sama aneka mainan ala anak cowok, utamanya mobil-mobilan dan figure robot.

Kemarin saya bebenah rumah (iya, kegiatan liburnya emak-emak banget ya hihi...) dan mendapati mainan Theo yang berserakan letak, jumlah, dan jenisnya. Sebagai emak penyuka serba rapih, saya kok pusing ya lihat mainannya. Dan saya perhatikan Theo juga jadi ga optimal mainin semua mainannya. Karena apa yang dia lihat depan mata aja (diantara serakan dan tumpukan) yang dia mainin terus, padahal banyak jenis mainannya yang (lebih) edukatif tertumpuk di bagian bawah.








Maka saya ajaklah dia untuk merapihkan mainannya.

Saya sampaikan "Theo menyimpan mainan yang Theo suka, Theo sering mainkan, dan sesuai perkembangan ya. Kalau mainan sejak zaman masih bayi kecil yang sudah nggak dimainin lagi, kita pisahin dan nanti kasih ke dede bayi yang lain".

Dia mengerti dan setuju.

Jadilah duet maut ibu dan anak declutter mainan :).

Langkah awal semua mainan kita hamburkan di lantai, bersumber dari beberapa box dan sudut rumah dan kamar.




Kemudian kita pisahkan per kelompok mainan, misal alat transportasi dalam satu kelompok, robot dalam satu kelompok, aneka jenis bola dalam satu kelompok, aneka jenis lilin dalam satu kelompok, aneka jenis tembakan (saya nggak suka sih mainan yang "rasa agresif" begini) dalam satu kelompok, begitu seterusnya.

Setelah itu Theo saya ajarkan untuk memilih mana saja dari setiap kelompok itu mainan yang dia SUKA.

Dari kelompok yang terpilih sebagai mainan yang dia suka, saya tanyakan lagi, ini masih cocok nggak untuk Theo mainkan? Atau sudah nggak cocok? Lebih cocok dimainkan oleh adik kecil, misalnya?

Dari kategori itu dia pilih lagi tuh.

Kemudian dicek apakah mainan pilihannya itu masih berfungsi baik? Atau perlu diperbaiki? Atau misalnya perlu diganti baterainya atau gimana?

Nah kondisi yang benar-benar masih oke, disimpan dalam satu box khusus. Yang kondisinya perlu dan masih bisa diperbaiki, dipisahkan untuk diperbaiki.

Yang kondisinya masih baik namun udah nggak cocok lagi dia mainkan, dipisahin untuk kemudian dikasih ke anak-anak lain yang lebih perlu. Dan yang kondisinya udah rusak tak berdaya ya dibuang.

Kemudian saya ajarkan Theo untuk selalu mengumpulkan mainannya dalam satu box setiap dia selesai main. Di sekolahnya sebenarnya dia juga diajarkan untuk clean up, jadi kemarin saya mengingatkan dia lagi.

Senang deh lihat koleksi mainan Theo jadi lebih rapi. Theo nya juga happy karena "menemukan lagi" mainan-mainan lama yang sebenarnya dia suka tapi lama nggak dia lihat karena tertumpuk.

Dan... saya juga jadi sadar betul ada apa aja sih koleksi mainan anak saya, jadi nggak gampang-gampang beli lagi mainan yang (ternyata sebenarnya) dia udah punya. Nah, declutter selain bikin bersih dan rapi ternyata juga bisa bikin saya lebih hemat kan.

Bisa hemat itu rasanya..... puas.... :D.

Coba deh buat Teman yang memiliki anak untuk declutter mainan anak. Kadang kita merasa mainan anak adalah hal yang sepele aja, Belinya juga "nyicil" pas ketemu mainannya, nggak langsung terasa berat dan mahal. Padahal setelah kita lihat dan pilah mainan anak kita tuh ternyata banyak dan nilainya lumayan loh.

Saya merasa kemarin jadi libur yang sangat produktif untuk saya dan Theo :).

Selasa, 08 Mei 2018

Money Mindset


 pic source : inspyr.com

Sejak kecil kita sering sekali diajarkan mindset yang cenderung negatif mengenai uang. Nggak selalu sih, namun seringkali.

Misal nih sewaktu kecil dan kita sudah mengerti uang nggak jarang malah dikomentarin "ih, kecil-kecil kok udah ngerti uang?".

Hal-hal seperti ini sedikit banyak membentuk mindset kita tentang uang.

Ada diantara kita yang kemudian memiliki pemikiran negatif tentang uang seperti : uang tuh membawa banyak akibat buruk, gara-gara uang banyak deh orang yang jatuh dalam dosa, gara-gara pengen uang banyak si itu jadi salah jalan, atau si itu orangnya boros banget ya, belanja ini itu sampai hutangnya jadi banyak, kayak ga ada remnya aja kalau belanja, uang itu berkesan rakus, jahat, kotor.

Padahal kalau dipikir-pikir uang kan angka, sumber daya, alat untuk bertukar barang atau jasa.

Nggak tahu juga gimana dengan Teman-Teman, tapi setelah saya diskusi topik ini dengan beberapa klien dan teman saya ternyata mereka juga merasakannya. Sekedar merasa ya, nggak sepenuhnya menyadari juga. More about most of my friends said bahwa iya ya kita tuh suka ngerasa love-hate relationship gitu deh sama uang.

Love karena butuh dan memang uang bisa memenuhi kebutuhan dan membeli banyak hal menyenangkan yang kita suka hihihi... Hate karena ya itu.... ngerasa uang tuh apa ya.... kayak yang negatif gitu loh rasanya. Halah, ini kok saya susah amat deskripsiinnya.

Ternyata itu terkait dengan mindset. Jadi ingat zaman kuliah Psikologi dulu, pikiran manusia itu luar biasa kerja dan hasil kerjanya. Pola pikir bisa membentuk manusia. Semisal kita punya pola pikir atau mindset yang negatif tentang suatu hal (dalam hal ini uang) kita juga jadi cenderung memandang, menyikapi, dan bereaksi negatif akan hal (uang) tersebut. 

Begitu juga sebaliknya tentang mindset yang positif.

Katanya sih orang kaya memiliki mindset yang positif tentang uang. Mereka menjadikan uang alat untuk bertumbuh, mencapai tujuan, dan melihatnya sebagai peluang.

Misal ada penawaran produk reksadana X. Orang dengan mindset uang yang positif cenderung akan melihat penjelasan produknya, berhitung probabilitas profit dan loss, jika dia meyakini akan untung dia ambil, jika dia meyakini akan rugi, dia nggak ambil. That's it.

Sementara orang dengan mindset negatif yang mendapatkan penawaran yang sama cenderung malah sejak awal antipati terhadap reksadana, berpikir bahwa reksadana adalah produk nggak jelas (hanya karena dia belum terinformasikan), dan langsung anti untuk mempelajari. Jadi keputusan ambil atau nggak penawaran tersebut bukan karena sudah meyakini akan untung atau rugi, tapi karena dia sudah mem-block pikirannya akan penawaran itu, tidak mau melihat peluangnya.

Jika dalam hidup ada ribuan atau jutaan peluang tentang keuangan, dan kita termasuk dalam kelompok yang punya mindset negatif tentang uang, sedih juga ya karena kita mendengar kata uang aja bawaannya udah ga nyaman, risih, dan merasa "ih ngapain sih segitunya amat sama uang?".

Sementara jika kita termasuk kelompok dengan mindset uang yang positif kita akan cenderung melihat penawaran terkait uang sebagai potensi. Minimal memandang dari sudut netral dulu deh. Bahwa peluang itu kita ambil/ usahakan atau tidak itu kembali ke masing-masing kita aja.

Nah, coba diam sejenak dan cek diri kita, kita punya mindset positif atau negatif kah tentang uang?