Senin, 29 Januari 2018

This Dear January; Movies

Mengawali tahun ini dengan perasan lebih "terisi", dengan resolusi yang jauh lebih sederhana namun lebih fokus. 

Somehow membuat saya menjalani hidup dengan lebih santai. Lebih menikmati saat ini :).

.... dan, coba saya ingat-ingat, film apa aja ya yang saya tonton di Januari ini. Wait, apa hubungannya mengawali tahun dengan nonton film? Saya suka nonton film di bioskop. Menurut saya nonton film itu hiburan yang berguna banget hahaha... Setelah nonton saya merasa terhibur, secara biaya juga jauh lebih murah dibanding spend time nggak jelas buat shopping apalah apalah :). Dan karena saya mencoba hidup lebih present, lebih sadar, jadi saya bisa mengatur kegiatan saya dengan lebih baik, jadi punya cukup waktu untuk pleasure things, termasuk nonton film.

And so, here are the movies I watched this month :

Insidious : The Last Key

I don't know why I watched this hahaha... But it seems like everybody watch this movie at the time. Saya juga nggak tahu sih kisahnya kenapa udah di chapter LAST key aja. First key nya aja tentang apa saya nggak tahu :). 

Saya nggak punya kompetensi lah ya kalau komen detail teknis film mah, tapi yang saya suka dari film ini, seperti hampir semua film horor ala bule yang saya tonton, penggambaran hantu atau tokoh "nyata tapi tidak nyata nan kejam dan jahara alias jahat"  tuh apa ya... terasa lebih masuk akal aja, nggak too much mengada-ada. Dan ceritanya ada jalurnya, nggak yang tiba-tiba hantu muncul tanpa saya ngerti ini muncul dalam rangka apa?

Emang saya berani nonton film horor? To be honest, nggak. Apapun lah kategorinya, asal film yang seram-seram, saya sebenarnya nggak berani. Tapi saya suka (nonton berkali-kali) film Psycho dan The Orphan. Nah, film horor zaman now macam Insidious ini ya nonton aja, kalau ada adegan yang saya takut, ya tutup aja mata pakai tangan. 

Dan sejujurnya sepanjang film ini durasi mata ditutup tangan lebih banyak sih :)


 
Susah Sinyal.

Film ini tayang sejak Desember, tapi saya baru nonton di awal tahun. Awal tahun dapat film Indonesia bagus begini, suka banget deh. Ceritanya  tentang perempuan karir yang juga memiliki anak perempuan dan berusaha membangun kedekatan dengan anaknya. Ceritanya bagus, family matter. Issue yang nyata dan bisa terjadi di sekitar kita.

Filmnya Ernest Prakasa yang saya tonton di tahun lalu adalah Cek Toko Sebelah, dan saya juga suka. Menurut saya sih penggarapannya rapi. Dan para pemainnya juga berperan dengan halus dan pas. Walau terasa banget banyak "rasa komedi ala komika stand up comedy" tapi dialognya nyambung sama konteks ceritanya, nggak yang asik melucu sendiri padahal lucu-an nya nggak ada sangkut paut sama kisah. Suka kzl alias kezel sama film komedi yang dialog lucunya diselipin tanpa nyambung sama kisahnya, terasa maksa. 

Nah, film ini nggak begitu.


The Commuter

Liam Neeson itu tipe "ayah-ayah jagoan"ya :). Seringnya film action yang saya dapati adalah jagoannya tuh berjuang menyelamatkan seisi bumi, seisi kota, seisi planet, seisi galaksi, dan sebagainya. 

Nah, Liam Neeson ini entah gimana di benak saya tipe jagoan "ayah-ayah". He does heroic action simply to save his family -walau belakangan kisahnya juga nyambung ke issue kejahatan yang lebih besar, dalam film ini korupsi tata kota-. Mungkin saya terpengaruh sama film-film sebelumnya seperti "Taken".

Dan selama nonton film ini, selain menikmati cerita dan akting para pemain, serta set kereta yang oke banget, saya berpikir keras (iya, keras banget) gimana lah caranya para aktor atau aktris yang sudah lumayan berumur ini (Neeson kelahiran 1952 loh, seumuran Bapak saya :)) menjaga kesehatannya sampai masih bisa acting ala action movie gini, kan nggak mudah pastinya.

Dan.... set keretanya itu.... terasa real banget. Secara dulu saya anker alias anak kereta, berasa dejavu deh lihat set kereta di film ini :).


The Greatest Showman

Sejak lihat iklan film ini, saya udah niat sekuat baja bahwa saya mesti kudu harus wajib banget nonton film ini.

Udah lamaaaaaaa.... banget rasanya nggak nonton film musikal yang ciamik (halah, bahasanya dong ciamik) begini.

Jadilah saya nonton, dan PUAS. 

Ceritanya mengajarkan banyak nilai, dan Hugh Jackman main baguuuuuusssss banget. Akting, koreo, nyanyi, I know it's not easy, but he did great! Bahagia deh rasa yang saya dapat saat dan sesudah menonton film ini. Film musikal yang digarap serius dengan latar pertunjukan dan sirkus (detailnya sirkus kan banyak banget tuh ya) digarap sangat detail dengan musik yang enak banget dan aktingnya bagus-bagus, bahkan Zac Efron pun main bagus disini hahaha...

Saya suka banget sama film musikal seperti ini. Menghibur. Dan saya merasa terhibur pollll nontonnya :).
  


Darkest Hour

Sejujurnya saya nggak kenal sama Gary Oldman pemeran utama film ini hahaha.. Well, I simply movie go-er dan bukan pengamat serius dunia film sampai hafal semua nama aktor dan aktris.

Tapi siapapun beliau Pak Gary Oldman ini, aktingnya J.U.A.R.A. banget sih. Itu.... akting karakter banget. Nggak ada adegan lulumpatan atau lari-larian menghindari monster atau kejar-kejaran atau balapan mobil, benar-benar full di mimik, suara, ekspresi, bahkan helaan nafas.

I, we, probably, tahunya Winston Churcill ya salah satu Perdana Menteri Inggris Raya yang lumayan terkenal lah ya. Tapi alkisah terpilihnya sampai beban yang ditanggungnya di masa pemerintahannya, saya pribadi sih jujur nggak tahu apa-apa hahaha... (did we learn it in history at school? Kinda forget hihihihi...). 

Dan masa-masa tersulit Inggris pada masa perang dan invasi besar-besaran NAZI di Eropa, saya baru tahu ohhh... ini toh setting waktunya. Ceritanya buat saya agak membosankan karena asli deh serius banget. Orang satu bicara, orang lain bicara lagi, orang lain lagi bicara juga. Banyakan adegan people talk or have conversations.

Tapi acting nya Gary Oldman ini, asli, amat sangat bagus banget. Ih, keren deh bisa menjiwai banget jadi Winston Churcill begitu.


Dilan 1990

... dan inilah film terakhir yang saya tonton di Januari ini. Saya punya bukunya, dan jujur saya nggak baca hahahaha.. Pas lihat summary nya berasa ya Gusti ini bacaan anak abegeh pisan. And I feel really old bin emak-emak banget untuk baca kisah cinta begini.

Tapi kemudian di dunia persilatan maya  tersiarlah kabar bahwa ini kisah nyata, bahwa tokoh bernama Dilan dan Milea itu benar ada, dan ini kisah beneran.

Teuteup... Saya nggak baca :).

Muntjul lah film ini.

Saya ikutan nonton karena di Instagram like every post I see is all about this movie. Penasaran lah kan. Saya nonton.

Ih kok romantis hahahaha....

Asli, ini romantis loh.

Dan seandainya benar ini kisah nyata maka berbahagia lah Milea dan Dilan yang pernah mengalami kisah cinta ala remaja seindah ini.

Walau katanya akhir kisahnya mereka malah nggak jodoh ya?

Dan..... seperti waktu nonton AADC2 saya baru ke-suka-an sama Nicholas Saputra, ini saya selesai nonton film ini yang nepuk-nepuk pipi dan bilang ke diri sendiri "bangun, buk, bangun... kok jadi ke-suka-an sama Iqbaal?" Hahaha...

Ini tuh Iqbaal yang di boyband anak-anak dulu itu kan, yang nyanyi "... kau bidadari jatuh dari surga, eeeaaa...".

Ya Gusti, ya Tuhan, how time flies ya, Ini bocah kenapa udah besar dan jadi charming begini?

:)

Enam (iyes, enam) aja dong film yang saya tonton di bulan ini.

Happy :).
 

Senin, 22 Januari 2018

Skala Prioritas Keuangan




I had this conversation with my friend, when we discussed about her plan to buy a new car or to pay her personal loan in bank.

Seperti piramida Maslow di Psikologi, di urusan keuangan ini ada nggak sih piramida nya juga, or sort of. Apa ada basic need dulu yang dipenuhi baru kemudian naik ke level piramida berikutnya.

Secara teorinya sih ada beberapa versi tentang financial pyramid ini. Tapi dalam pengalaman saya selama ini agak sulit ya menemukan orang dengan kondisi keuangan seideal piramida keuangan. Dan memang agak sulit juga pada praktiknya kalau urusan finansial di-piramida-in.

Kita harus membayar hutang dulu, atau membentuk dana darurat dulu, atau beli rumah dulu, atau persiapan dana pendidikan anak dulu atau bagaimana nih?

Well, menurut saya setiap orang harus sadar dulu kebutuhan dan tujuan keuangannya apa. Financial planning memang kurang seusai untuk digeneralisir ke semua orang.

Ada beberapa teman yang kemudian menjadi klien saya memang minta dibuatkan perencanaan keuangan yang menyeluruh, mulai dari neraca, arus kas, perencanaan investasi, asuransi dan manajemen resiko, hingga perencanaan pensiun. Dan itu berarti diskusi, keterbukaan, dan analisa serta saran menyeluruh.

Tapi ada juga beberapa teman yang diskusi dengan saya untuk tujuan keuangan tertentu, misal khusus tentang pelunasan hutang, khusus tentang perencanaan pendidikan anak, khusus tentang rencana membeli rumah, dan sebagainya.

Lalu apa itu berarti mereka yang memiliki tujuan khusus tersebut telah melewati tahapan tertentu? Misal yang merencanakan pendidikan anak, apa berarti dia sudah tidak punya hutang? Atau yang merencanakan pembelian rumah berarti dia sudah  aman dana daruratnya?

Nggak juga.

Idealnya memang kita menyelesaikan hutang-hutang, kemudian membangun dana darurat, kemudian investasi, dan seterusnya.

Tapi itu kan idealnya versi indah kehidupan :).

Jadi pembahasan tentang perencanaan keuangan memang sangat sangat sangat bergantung pada kebutuhan setiap individu, tapi secara garis besar dapat dirangkum dalam berbagai tips dan saran yang akan saya ulas di blogpost-blogpost berikutnya ya.

Saya menemukan passion saya di dunia perencanaan keuangan ini. Sangat. Jadi blogpost-blogpost saya akan berisikan utamanya tentang financial planning, selain tentunya hal-hal terkait personal life ataupun life style.

Cheers to a beautiful Monday :)


Senin, 08 Januari 2018

Nabung Dulu Baru Belanja




And so, since I'm a Certified Financial Planner and would like to spend more of my energy and effort on personal financial issue, let  me write blog posts also on this issue, please :).

Ada baaaaanyyaaaakkk... sekali topik tentang perencanaan keuangan. Saya ingin share pengetahuan dan pengalaman saya di industri keuangan selama 12 tahun terakhir ini dengan my blog fellow readers. Niatnya begitu.

Diawali dengan bagaimana menabung ya...

Sering kita bingung ketika kita menerima gaji atau income (misal untuk para freelancer) dipakai dulu uangnya atau bagaimana ya?

Saya pasti selalu menyarankan menabung dulu.

Setiap kali kita menerima gaji, maka pisahkan dulu 10% LANGSUNG untuk ditabung.

Kenapa 10%? Well, jika bisa lebih, lebih baik. Tapi setidaknya 10%.

Ok, I know melakukannya tidak semudah menuliskan saran ya. Tapi hal terkait uang memang sulit di awal. Saat menjadikannya kebiasaan dengan tingkat disiplin yang komit, maka kita akan merasakan manfaatnya. Uang tuh energi, dan pemanfaatan energi dengan cara yang benar akan membawa manfaat yang maksimal.

Jadi jangan begitu terima gaji kemudian dipakai dulu, dan di akhir bulan baru (berusaha) dipisahkan sisanya. Kejadiannya biasanya malah nggak ada sisa.

Terus, bagaimana untuk bisa disiplin memisahkan uang?

Di berbagai bank besar biasanya sudah ada produk tabungan yang autodebit sejumlah uang dari rekening utama. Bahkan beberapa bank memberikan paket hadiah untuk nilai tabungan tertentu.

Dengan meng-auto debit-kan setidaknya 10% dari gaji atau penerimaan kita, maka kita juga jadi punya semacam peace of mind bahwa well, okay apapun yang terjadi di muka bumi ini, saya udah nabung :D.

Cobain deh, dan komitmen diri sendiri untuk disiplin menabung 10% di awal terima gaji. Dan kita meneruskan hidup dengan sisa uang setelah "dipotong" untuk tabungan.

Bisa dijadiin resolusi 2018 nih. Setidaknya kita mencoba komit untuk membenahi keuangan kita. Peace of money tuh jadi peace of mind juga loh :).



Selasa, 02 Januari 2018

Hello, 2018



Semacam blogpost wajib nggak sih di awal tahun menulis tentang ini :)

Secara pribadi saya bersyukur untuk semua hal yang terjadi di tahun 2017. Ada suka dan duka, pasti. Ada up and down, pasti. Ada pencapaian dan kegagalan juga.

Saya memandang 2018 ini dengan lebih tenang dan jelas. Nggak bikin banyak resolusi juga. Hanya fokus di beberapa hal. Salah satu yang jadi semangat dan fokus saya adalah membaca lebih banyak buku.

Seriously, di 2017 saya nggak banyak membaca buku, kalau beli buku sih tetap aja semangat, tapi menuntaskan lebih banyak buku jarang banget deh. Tahun lalu saya nggak begitu akrab nih sama buku.

Jadi salah satu fokus saya di tahun ini adalah membaca lebih banyak buku sampai selesai. Nah, poin sampai selesainya ini nih yang pe-er banget :).

Jadi dalam rangka menantang diri sendiri untuk mewujudkan keinginan ini, saya bilang ke diri sendiri bahwa setiap buku yang sudah saya baca sampai tuntas, akan saya review dan saya tuliskan di blogpost. Jadi semacam alert ke diri sendiri. Syukur jika review-an nya bisa berguna bagi teman-teman yang membaca blog ini kan :).

Dan sebagai awal, saya sedang di pertengahan buku The Magic of Thinking Big karya David J. Schwartz. So far saya bisa bertahan membaca buku ini sampai setengahnya di edisi libur akhir tahun kemarin tanpa merasa ngantuk dan bosen sih hihihi... Isinya bagus. Nanti saya review deh ya.

Selamat memasuki 2018, Teman...

Semoga kita semua menjadi lebih baik di tahun ini ya. Amin.