Senin, 27 November 2017

Financial Planner


 picture : forbesimg


Sudah lama saya tertarik dengan profesi ini.

Eciyeee... Tertarik.

Tepatnya sih sejak lulus S2.

Kemudian saya sempat  mengikuti tutorial persiapan untuk mendapatkan gelarnya, yang kemudian saya hamil, dan as i said earlier bahwa saya hamil tuh agak drama. Jadi kuliah persiapan alias tutorial  itu berhenti.

Financial Planner ini profesi yang membantu orang untuk mencapai tujuan hidup melalui tujuan dan perencanaan keuangan. Bukan profesi sembarangan yang semua orang bisa lakukan dengan bebas, ada sertifikasinya. Namanya CFP, Certified Financial Planner.

Selama 4 tahun saya memendam hasrat menggelora tentang profesi ini (hasrat menggelora lah ya hihihi...). Saya tertarik banget deh menjadi Financial Planner karena berbagai alasan. Mudahnya sih memang menjalani hidup ya mengalir saja, seperti air. Toh rezeki sudah ada yang mengatur, dan alasan lainnya.

Tapi seberapa banyak di sekitar kita (eh sekitar saya, deh) yang hidupnya bermasalah karena uang?

Sebenarnya masalahnya juga bukan di uang nya sih. Uang itu ibaratnya energi saja, bukan sumber masalahnya. Masalahnya adalah di pengelolaan uangnya.

Nah, mendapati hal begitu, ditambah kuliah S1 saya di Psikologi, saya mendapati banyak sekali permasalahan manusia zaman now (halah :D) dikarenakan pengelolaan uang. Less of peace, less of harmony, more stress, and even depressed because of finacial issue.

Pengelolaan uang itu, menurut saya sangat tidak bisa dianggap sepele.

Then, dengan dana yang diusahakan sangat, waktu yang artinya mengosongkan jadwal weekend selama 3 bulan, I went back to campus.

Belajar lah saya (lagi, kali ini sampai tuntas) tentang financial planning.

Dan ujian final FPSB -Financial Planning Standard Board- sudah saya jalani. Dan puji Tuhan, pada 17 November lalu sudah dapat pengumumannya bahwa saya lulus. Puji Tuhan.

Yeaaaayyyy...

Seremonial wisuda Januari tahun depan. Ah, seremonial kan perayaannya saja ya. Yang penting saya sudah CFP :).

Now what?

Am working on next things :).

-nova-

Rabu, 08 November 2017

Tentang Menjadi Lebih Sederhana



Pic from Harsh Agrawal

Less Stuff...

Itu lah yang belakangan ini menginspirasi keseharian saya.

Sejak menikmati cara hidup (lebih) minimalis; saya sebut lebih minimalis, karena saya belum sepenuhnya bisa menerapkan cara hidup minimalis ini, baru menerapkan atas hal-hal yang saya bisa saja, saya melepas banyak sekali barang.

Declutter..

Saya sudah mengurangi (ini lebay ga ya, tapi jujur sih) lebih dari 250pcs (yes, dua ratus lima puluh) pakaian saya. Ada juga cukup tas dan sepatu yang saya lepas.

Kenapa?

Karena gerah dan begah hihihi...

Jadi awalnya begini, suatu pagi saya buka lemari pakaian saya dan mendapati lemari saya penuuuuuuuhhhhhh... namun saya merasa saya nggak punya baju untuk dipakai.

Weird, eh?

Kok ya pas kebetulan juga saya menemukan beberapa blog dan sosial media mereka yang menerapkan gaya hidup minimalis. Saya tertarik mempelajari lebih jauh, dan mendapati bahwa iya ya, yang kita butuhkan bukan (sekedar) barang, tapi lebih penting adalah value dari barang-barang tersebut.

Maka saya bongkar lah lemari saya itu. Barang pribadi saya dulu deh ya, belum termasuk pernik-pernik lain di rumah yang milik keluarga.

Langkah yang saya lakukan :

1. Pisahkan baju, tas, sepatu ke dalam kategori yang saya suka dan tidak.

2. Dari kategori yang saya suka, saya pilih lagi pakaian mana yang sering saya pakai dan tidak (kategori tidak untuk pakaian yang sudah lebih dari setengah tahun tidak saya pakai). Kenapa jarang dipakai? Bisa jadi bahannya saya nggak suka, ukurannya sudah nggak muat lagi, dan sebagainya.

3. Dari kategori yang saya suka dan sering dipakai saya pisahkan lagi mana yang memang saya butuhkan, mana yang sebenarnya saya nggak butuh.

Setelah tiga langkah itu saya terapkan, saya diamkan dulu sekitar seminggu. Iyes, jadi selama seminggu ada tiga keranjang di kamar saya. Untuk 3 kategori itu.

Setelah seminggu saya pikir-pikir lagi, saya pilah lagi dengan hati yang tenang dan pikiran yang seksama, mana yang mau saya keep dan mana yang mau saya lepas.

Jadilah dua keranjang, yang saya keep, dan yang saya lepas.

Saya diamin lagi tuh seminggu lagi.

Kemudian saya pilih lagi, pilih lagi, pilih lagi dan yakinkan diri, oke fiks yang ini saja yang saya keep.

As a result, ternyata yang saya keep ga banyak, benar-benar yang saya suka dan saya perlukan.

Terhadap sisanya yang saya lakukan :

1. Kasih ke bibi.

2. Ikut charity bazaar di gereja yang seluruh hasil penjualan buat kegiatan sosial.

3. Saya jual di platform penjualan used items.

Dan sekarang, walau belum bisa secanggih pola 333 wardrobe capsule ala minimalis sejati, setidaknya saat saya membuka lemari pakaian, saya mendapati barang-barang yang memang saya suka, dan saya pakai.

Tanpa saya sadari, hal ini menjadikan saya lebih sederhana. 

Setiap ada barang yang saya taksir, saya nggak yang nafsu banget harus beli, karena mengingat ini bakal terpakai lama atau nggak, kalau nggak, nanti dihibahkan ke siapa, bisa dijual lagi nggak? Kalau jawabannya nggak, saya nggak jadi beli hihihi...

Alokasi dana nya saya pakai untuk ikut kelas-kelas workshop singkat. Yang memperkaya diri saya secara keterampilan, pengalaman, dan pertemanan karena bertemu dengan komunitas-komunitas baru. 

Saya kok.... agak suka ya dengan progress yang saya jalani ini :)

-nova-


Kamis, 02 November 2017

Online Window Shopping




Saya sukaaaaaa sekali mengunjungi aneka online shop. Baik yang web based, di marketplace, di instagram, dan aneka sosial media. Sukanya maksimal.

Melihat produk yang dijual oleh  para pedagang online mulai dari fashion, tas, sepatu, sambel, buku, sampai diapers anak. You name it lah, saya sukaaaaa.....

Rasanya langsung saya pengen klik semua pilihan "add to cart" atau japri ke penjualnya untuk yang model bisnisnya harus menghubungi penjual secara japri.

But then.... Mengingat isi saldo rekening plus setelah dipikir-pikir apa iya saya butuh semua barang yang saya suka itu?

Jadi gegara sedang mencoba pola hidup minimalis, saya menjadi sangat memikirkan ketika ingin membeli sesuatu secara online.

Naksirlah sangat dengan barang-barang yang dijual, baik yang memang butuh maupun yang ingin.

Belakangan ini saya mencoba pola 3 - 3 - 3(0) ala saya.

Itu ga ada teorinya, saya aja yang bikin sendiri hihihi...

Jadi misal ada sesuatu yang saya inginkan -di luar kebutuhan urgent ya, tapi jarang banget sih saya beli sesuatu secara online untuk barang yang urgent- tips saya adalah :

1. Misal saya tertarik baju, itu saya beneran perhatiin detail size atau ukurannya. Kalau dalam satuan inch, saya jadiin centimeter dulu hahaha... Pokoknya jangan sampai salah beli. Saya baca benar itu bahannya apa. Kalau saya terbayang bahannya dan saya ngerti, saya masukkan kategori oke. Kalau saya nggak ngerti jenis bahannya, mending nggak usah. Karena saya punya pengalaman lihat foto bajunya oke, size nya cocok, tapi ga paham itu jenis bahan apa, saya tetap beli. Pas barangnya datang eh ternyata beibeh itu bahannya nggak banget yang tipis menerawang terbang-terbang gitu (ini gimana sih menjelaskannya ya :D).

Misal saya tertarik dengan sepatu atau tas atau sambel (halah, kok jauh ya range nya), saya suka membandingkan yang model sejenis, di toko sebelah harganya gimana, apakah ini masuk harga wajar.

2. Setelah barang yang saya incar masuk kategori ok, saya (sudah) nggak pernah (lagi) langsung beli. Saya diamin dulu 3 hari. Kalau setelah 3 hari saya bahkan sudah nggak ingat barang itu lagi, ya sudah, lupakan keinginan memilikimu, eh.... Tapi jika misal setelah 3 hari saya masih kepikir dan keingat juga sama barang tersebut, maka saya masukkan kategori oke level berikutnya.

3. Kemudian saya tunggu lagi 3 minggu. As I said earlier saya jarang beli sesuatu yang urgent secara online. Kategori barang urgent menurut saya misal obat turun panas saat anak sakit, diapers anak saat stok di rumah habis, dan sejenisnya. Kalau baju, tas, sepatu, dan sejenisnya masih bisa menunggu lah. Saya tunggu 3 minggu lagi dong (iya, lama, tapi bodo amat hihihi...). Kalau dalam 3 minggu itu saya bahkan nggak ingat pernah ngintip account instagram si penjual nya, ya sudah lupakan sajalah. Tapi misal setelah 3 minggu itu saya sampai ga bisa tidur karena memikirkan tas incaran, misalnya. Nah masuk oke level gawat.

4. Daaaannn... Tradaaaa... saya tunggu lagi sampai 30 hari dong. Jreeeenngg... Jika selepas 30 hari saya terindu-rindu sama barang itu, berikutnya yang jadi pertimbangan saya adalah meyakinkan diri lagi apakah barang ini saya perlukan, jika iya maka fix saya beli.

Hahaha... Lama yaaaa...

As I said, bodo amat.

Namanya juga lagi berhemat dan menerapkan hidup minimalis, jadi yang memang benar-benar saya pertimbangkan akan menambah value, baru akan saya beli. Sebisa mungkin belanja dengan sadar, intinya sih itu buat saya.

My way could be agak lebay yeee... Tapi ya itulah sebisa-bisanya daya saya menjaga kestabilan saldo rekening.

Jadi, ga hanya di toko fisik, saya juga adalah pembelanja online store yang suka window shopping.

Teman-teman bagaimana?

-nova-